sejujurnya nih, aku kurang begitu paham dengan istilah di atas: kakang kawah adi ari-ari, sedulur papat lima pancer. tapi karena istilah itu sering diucapkan eyang dan ortuku, jadilah aku mencoba mencari tahu apa sebenarnya makna dibalik konsep yang njawani itu.
dari hasil googling kesana-kemari, akhirnya aku tahu apa yang dimaksud kakang kawah adi ari-ari. kawah adalah ketuban yang akan keluar pertama kali menjelang kelahiranku. karena keluar duluan, maka dia disebut kakang alias kakak. setelah kawah (ketuban) pecah dan keluar, disusul kemudian oleh plasenta atau ari-ari. plasenta inilah yang membungkus janinku. lantaran dia mendapat giliran keluar kedua, maka disebut adi alias adik. si kakang (kakak) itu punya adi (adik).
tapi ternyata nggak hanya kakang kawah dan adi ari-ari saja yang menyertai kelahiranku. masih ada saudara lain yang nggak kalah pentingnya, yaitu darah dan tali pusar. jadi total jendral ada 4 (papat) saudara yang mengantarku lahir ke bumi, yaitu ketuban, plasenta, darah, dan tali pusar.
orang jawa meyakini bahwa keempat unsur itu adalah saudara kandungku, saudara kandung bagi setiap janin yang lahir ke bumi. merekalah yang tumbuh dan berkembang bersamaku sebagai janin di dalam rahim dan kemudian menemaniku keluar melihat dunia. karena itulah orang jawa menyebutnya sebagai sedulur papat lima pancer. yang dimaksud pancer tak lain adalah diriku sendiri.
begitu aku sudah lahir, sedulur papatku itu dikumpulkan menjadi satu, ditempatkan dalam wadah kendil, lalu ditanam di sebelah pintu masuk rumah. oh ya, sebelumnya juga disertakan uba rampe alias aneka sesaji bersamaan dengan sedulur papatku itu. ada benang dan jarum, ada beras, garam, dan lengkuas. tak ketinggalan kertas bertuliskan huruf alfabet dari a-z, angka dari 1-10, dan juga huruf jawa hanacaraka datasawala...kata eyang kakung biar kelak aku tetep pinter nulis pakai aksara jawa meskipun sudah era global. selain uba rampe itu juga disertakam kembang setaman.
di atas kuburan sedulur papatku itu, diberi lampu bolam yang nyala terus siang-malam. kata ibu, jaman dulu sebelum ada listrik, penerangannya menggunakan senthir alias lampu teplok. (eh ngomong-ngomong, kubur sedulur papatnya ibu ternyata letaknya bersebelahan sama sedulur papatku. wwaaa...pasti di alam sana sedulur papat ibu juga akan ngemong sedulur papatku ya...senangnyaaa...)
oh iya, meskipun aku modern, ternyata aku menikmati pernak-pernik tradisi jawa ini. kapan lagi sih aku bisa 'menjadi jawa' kalo nggak sekarang? aku juga bahagia dan bangga masih diberi kesempatan untuk berproses menjadi jawa.
tunggu ya...habis ini pasti akan ada kejutan ritual jawa berikutnya dalam rangka kehadiranku menjadi warga dunia. cihuuiii..nggak sabar rasanya pengin tambah umur...!
5 comments:
wah njawani tenan kowe nduk... smoga nilai-nilai luhur budaya jawa merasuk dalam dirimu nduk...
Wah, untung nggak di Sulsel...lagi musim mati lampu di sini, kalau mati lampunya lama kan repot atuh...
ssst...diganti senthir kali yaa..hihihi..
@ om berto : mumpung masih kecil pengin going native om..ntar kalo dah gede going abroad..hehehe
@ tante nana : wakakakk...serasa kembali ke era 70-an dong...
mampir mbak....wong jawa melu inguk-inguk blog....suwun
apik tenan.... crito kakang kawah adi ari-ari.... pas cilik biyen aku diwehi weruh wong tuaku...menowo arep nyapo-nyapo kon nyebut kakang kawah adi ari-ari... aku ewangono...
Post a Comment